tentang gandrik

Adalah Teater Gandrik, sebuah kelompok sandiwara yang didirikan pada 12 Oktober 1982 di kecamatan Mantrijeron, Yogyakarta, di saat Festival Pertunjukan Rakyat, yang diselenggarakan Departemen Penerangan RI, menjadi ajang bergengsi bagi pergelaran sandiwara yang dilakukan hampir tanpa pretensi apapun, kecuali mempegelarkan karya pertunjukan teater. Nama Gandrik sendiri dilontarkan oleh Camat Mantrijeron pada waktu itu, bapak Kasiharto, di tengah latihan mengikuti Festival Pertunjukan Rakyat. Lontaran itu dimaksudkan sebagai pernyataan sang Camat bahwa kelompok teater kontingen dari Mantrijeron itu akan membuat keterkejutan masyarakatnya. "Gandrik" memang sebuah idiom dalam tradisi Jawa untuk menyampaikan keterkejutan. Gandrik, di festival itu mempergelarkan lakon "Kesandung" karya Fadjar Suharno dan "Meh" karya Heru Kesawa Murti.
Sandaran berkesenian Teater Gandrik adalah kerja kreatif, pergaulan yang solid, bermain sandiwara dengan perasaan bahagia (happy), berorientasi pada kesenian rakyat di Indonesia untuk diangkat dan digarap dengan pendekatan teater modern, manajemen yang terbuka dan tertata baik secara profesional. Sejak awal proses penggarapan kreatif Teater Gandrik selalu memberikan tempat utama pada proses berbagi (sharing). Siapapun yang ada di dalamnya diberi hak sepenuhnya untuk mengemukakan pendapat, opini, kritik dan masuk-masukan kreatif bagi kepentingan pengembangan mereka. Karena itu Gandrik hampir tak pernah mengenal keangkeran sutradara sebagai penguasa estetik dan artistik dengan segala hak prerogatifnya yang serba mutlak itu. Konsep penggarapannya adalah keroyokan. Bila kemudian terjadi penyebutan secara tertulis juga lisan barangkali, sutradara di sana hanya berfungsi sebagai koordinator atau traffic lalu lalang gagasan-gagasan kreatif dari proses keroyokan itu. Sehingga dengan begitu, proses kreatif yang terjadi di Gandrik adalah proses yang terus menerus selalu berubah, selalu baru, selalu terjado pengembangan-pengembangan. Apa yang terjadi pada latihan sekarang akan mengalami pengembangan saat pementasan. Apa yang muncul dalam pementasan di satu kota akan mengalami pengembangan saat pergelaran di kota lain.
Teater Gandrik selalu dibakar oleh spirit canda dalam menggarap lakon-lakonnya. Bahwa di tengah canda itu muncul kritik, hal yang mendasarinya adalah respon Gandrik pada perkembangan dan persoalan aktual yang terjadi di sekelilingnya, adalah juga reaksi dari kegelisahannya dalam menyikapi pergeseran-pergeseran kultural, sosial dan politik di sekitarnya. Gandrik memang membungkus kritiknya itu dengan tawa, dengan canda, dengan olok-olok, dengan guyonan. Juga dengan sembrana parikena ; sebuah proses bercanda dalam budaya Jawa, yang kurang lebih bermakna sebuah ikhtiar idiomatik untuk main-main, untuk meledek, syukur-syukur main-mainnya, ledekannya itu, mengena, tidak pun juga tidak masalah. Dengan begitu, Gandrik, yang dilahirkan di tengah lingkungan budaya Jawa yang kental, selalu menggunakan idiom-idiom kulturalnya itu untuk menyampaikan kritik, mengutarakan model candanya dengan konsep garapan yang sekomunikatif mungkin. Bahkan juga menggunakan idiom-idiom yang tengah populer di masyarakatnya, tak terbatas apakah itu bahasa slank, bahasa gaul, atau kebiasaan-kebiasaan yang sedang dicenderungi khalayaknya. Dengan pendekatan itu Gandrik menjadi akrab di tengah khalayak penontonnya, hangat sebagai tempat untuk "curhat" pemirsanya, karena pertunjukan-pertunjukan Gandrik selalu digarap dengan menempatkan masyarakat penotonnya sebagai bagian integral dari pementasannya.  

Teater Gandrik - didirikan Jujuk Prabowo, Heru Kesawa Murti, Susila Nugraha, Sepnu Heryanto, Novi Budianto dll - merupakan salah satu kelompok teater kontemporer Indonesia yang mampu mengolah bentuk dan spirit teater tradisional dengan gaya pemanggungan modern. Sejak terbentuk 12 September 1983, dan melewati pasang surut kreatif bahkan masa-masa vakum yang menggelisahkan,

Teater Gandrik senantiasa mencoba dan mengembangkan semangat “guyon parikena” dalam pertunjukannya.Tahun 1980-1990, bisa dibilang menjadi tahun-tahun produktif Teater Gandrik. Ditandai dengan beberapa pementasan seperti Meh, Kontrang-Kantring, Kesandung (1983), Pasar Seret (1985), Pensiunan, Sinden (1986) Dhemit, Isyu (1987) Orde Tabung, Juru Kunci, (1988), Upeti, Juragan Abiyoso (1989), Proyek (1991) yang menjadi bagian penting dari dinamika sosial politik di Indonesia pada masa itu. Ketika hagemoni kekuasaan Orde Baru begitu kuat, lakon-lakon Teater Gandrik mampu menjadi medium untuk melakukan kritik sosial sekaligus katarsis politik.Menurut DR Faruk, lakon-lakon Teater Gandrik merupakan “manifestasi teateral dan modern dari pola kritik varian rakyat kecil”, terutama rakyat kecil Jawa, dengan menggunakan “guyon parikena”, menyindir secara halus yang tidak menimbulkan kemarahan yang berkuasa, dan bahkan seperti mengejek diri sendiri walau pun sesungguhnya yang dibidik adalah orang lain (yang tengah berkuasa).

Model kritik “guyon parikena” dan semangat mengolah bentuk-bentuk teater tradisional ke dalam bentuk pementasan teater modern, menjadi dua hal penting yang menjadi orientasi estetis lakon-lakon Teater Gandrik. Itulah sebabnya, oleh banyak kritikus, Teater Gandrik kemudian disebut sebagai kelompok yang mengembangkan estetika sampakan. Di mana panggung menjadi medan permainan para aktor secara luwes, cair dan cenderung “memain-mainkan karakter” dalam lakon-lakonnya, sehingga tak ada batasan yang jelas antara “aktor sebagai pemain” dengan “watak yang dimainkannya”. Inilah pola permainan gaya sampakan, yang oleh para personil Teater Gandrik disebut sebagai pengembangan dari pola permainan yang mereka temukan pada banyak teater tradisional di Indonesia.

Para personil dan penggiat Teater Gandrik yang di kemudian hari diperkuat Butet Kartaredjasa, Djaduk Ferianto, Whani Darmawan dll, memang tumbuh dalam lingkungan tradisi (Jawa) yang kental. Lingkungan tradisi inilah yang banyak memberi warna pada pementasan-pementasan Teater Gandrik. Tradisi itu juga menjadi jalan bagi Teater Gandrik untuk mencari (dan menemukan) identitas estetiknya. Namun begitu para personil Teater Gandrik juga mengalami modernisasi, yang mengakibatkan mereka memiliki keinginan untuk berbeda dengan generasi sebelumnya, dimana mereka kemudian memasuki “sebuah dunia baru yang bernama Indonesia”.

Sebagai komunitas kreatif, Teater Gandrik sangat fleksibel dalam keanggotaan. Dalam pengertian, keanggotaan Teater Gandrik hanya “diikat” oleh kebersamaan dalam melakukan pencarian idiom-idiom teaterikal yang ingin mereka capai bersama. Tidak mengherankan, apabila banyak anggotanya yang kemudian keluar masuk, berganti-ganti personil. Yang jelas, sampai sekarang beberapa personil Teater Gandrik terus berupaya membangun soliditas kelompok dengan terus melakukan proses bersama. Hal itu bisa terlihat melalui beberapa pementasan mereka berikutnya, yakni Brigade Maling, Mas Tom, Departemen Borok, Dewan Perwakilan Rayap, Sidang Susila, Keluaarga Tot dan Pandol. Lakon Brigade Maling, pada tahun 1999, malah sempat dipentaskan di Monash University Australia. Sebelumnya, pada tahun 1990 dan 1992 Teater Gandrik juga mementaskan lakon Dhemit dan Orde Tabung di Singapura dan Kuala Lumpur Malaysia.
Salah satu upaya dalam membangun soliditas grup dilakukan dengan menjadikan Tater Gandrik sebagai suatu kelompok terbuka, dimana para angota (yang baru maupun yang lama) terus melakukan proses dan pencarian bersama untuk menemukan idiom-idiom teater yang relevan dan orisinil bagi pementasan-pementasan berikutnya.

Upaya lain yang dilakukan Teater Gandrik ialah dengan membangun sistem internal yang lebih tertata dan terencana. Dengan begitu, secara manajemen, Teater Gandrik bisa menjadi kelompok teater yang bersifat modern. Itulah yang menjadi kesadaran dan paradigma berfikir Teater Gandrik, bahwa sebuah kelompok teater tak bisa lagi hanya berfungsi sebagai media pergaulan bersama dan medan pengembaraan artistik, tetapi juga mesti mampu menjadi media yang memungkinkan setiap orang menjadi manusia kreatif. Latar pemikiran seperti itulah, yang kemudian membawa Teater Gandrik berada dalam lingkungan Yayasan Bagong Kussudiardja, yang kian memungkinkan bagi Teater Gandrik untuk terus mengembangkan diri