Wednesday, August 4, 2010

gandrik menurut kawan gandrik

Teater Itu Dinamakan Gandrik (Sejak 1983)
Profil Teater Gandrik oleh Muhammad Abe

Pada awalnya di tahun 1982 adalah Camat Mantrijeron bernama Kasiharto, yang mencari para seniman yang tinggal di daerahnya untuk membentuk kelompok teater untuk mewakili kecamatannya dalam Festival Pertunjukan Rakyat tingkat lokal . Ia segera menghubungi Jujuk Prabowo untuk mengumpulkan seniman-seniman untuk terlibat dalam rencananya itu, Jujuk Prabowo kala itu telah terkemuka di Yogyakarta sebagai aktor dan sutradara di kelompok teater Dinasti yang telah punya nama di Yogyakarta. Jujuk mengajak Novi Budianto dan Saptaria Handayaningsih koleganya di Teater Dinasti, serta beberapa orang tetangganya, para seniman teater yang ia kenal melalui pergaulan luasnya di dunia teater Yogyakarta waktu itu, maka berkumpul Heru Kesawa Murti (Teater Kerabat), Susilo Nugroho (Teater Kita-Kita), Sepnu Heryanto. (Teater Gembala), dan Mbah Kartono. Tidak semuanya tinggal di Kecamatan Mantrijeron, namun hubungan pertemanan antara mereka yang membuat tidak ada yang bisa menolak tawaran ini.
Kelompok tanpa nama ini mementaskan naskah KESANDUNG (karya Fajar Suharno, 1982) untuk kompetisi tingkat provinsi tahun 1982 dan MEH (karya Heru Kesawa Murti, 1983) untuk kompetisi tingkat nasional pada tahun 1983 memenangkan lomba teater hingga di tingkat provinsi, dan kemudian tingkat nasional. Sejak awal mereka sudah tampil agak berbeda dengan menampilkan guyonan parikena yang akrab dalam kehidupan sehari-hari Yogyakarta ke dalam panggung pertunjukan modern, sesuatu yang masih menjadi ciri khas Gandrik hingga saat ini. Camat Mantrijeron yang terkejut dengan prestasi yang dihasilkan kelompok ini sempat mengucap, “Gandrik tenan iki koe cah” (Mengejutkan sekali kalian ini-pen) mengekspresikan keterkejutan dan kegembiraannya atas prestasi yang diraih kelompok ini. Jujuk dan teman-teman kemudian menyepakati Gandrik sebagai nama kelompok mereka, karena kejutan-kejutan dan kegembiraan yang mereka rasakan selama proses menuju pertunjukan dan juga yang ingin mereka sampaikan kepada para penonton.
Sebenarnya tidak ada rencana Gandrik akan terus dipertahankan, karena masing-masing orang yang tergabung di dalamnya mempunyai kelompok. Namun tawaran-tawaran untuk pentas terus berdatangan, salah satunya syuting di TVRI Pusat Jakarta dan TVRI Yogyakarta, bersamaan dengan bergabungnya Butet Kertaredjasa, Djadug Ferianto, dan Rullyani Isifihana menambah kuat formasi Gandrik pada tahun 1983. Periode antara tahun 1982 hingga 1992 adalah periode paling produktif bagi Teater Gandrik, setiap tahun selalu muncul repertoar pertunjukan baru dipentaskan di Yogyakarta, Jakarta, serta kota-kota di Jawa Tengah, Sumatera, dan Kalimantan. Setelah tahun 1992, para personil Gandrik disibukkan dengan urusan pribadi masing-masing dan mengurangi frekuensi pertunjukannya, selain itu antara tahun 1993 hingga menjelang akhir tahun 2000 Gandrik juga mencoba media baru, sinetron televisi dan sandiwara radio.
Kembali ke panggung pertunjukan pada tahun 1999 dengan BRIGADE MALING,(Naskah: Heru Kesawa Murti) yang sempat dipentaskan di Melbourne Australia, selanjutnya Gandrik menghasilkan empat karya pertunjukan hingga tahun 2009. Kini Gandrik berusaha untuk memulai regenerasi dengan mengajak aktor-aktor muda Yogyakarta bergabung dan terlibat dalam dua proses pertunjukan mereka yang terakhir (SIDANG SUSILA, karya Ayu Utami, 2008 dan KELUARGA TOT, karya Istvan Orkeny, 2009), sebuah usaha untuk terus menjaga nafas kelangsungan Teater Gandrik lebih lama lagi.
Hampir semua anggota awal Teater Gandrik lahir dan melewatkan masa kecil di Yogyakarta, pertemuan mereka dengan lingkungan teater telah dimulai ketika mereka masih belia. Masa remaja mereka dilewatkan dengan menikmati teater, baik yang tradisional maupun yang modern di kampung-kampung maupun di gedung-gedung pertunjukan. Kedekatan masing-masing personil pada tradisi seni pertunjukan Jawa itu yang menjadi sumber inspirasi pertunjukan-pertunjukan Gandrik. Baik Heru Kesawa Murti, maupun Jujuk Prabowo yang banyak berfungsi sebagai pemicu ide-ide kreatif Gandrik mengaku pertunjukan-pertunjukan Gandrik tidak bisa dilepaskan dari pola-pola kethoprak, srandul, ataupun tari jawa, namun penampilan mereka juga bisa diterima di panggung pertunjukan modern.
Bagi Heru Kesawa Murti, sebutan sampakan atau Brecht Jawa yang dilekatkan pada pertunjukan Gandrik adalah cara orang-orang di luar Gandrik menerima ide-ide teater Gandrik. Heru Kesawa Murti mengaku proses menuju ke pertunjukan Gandrik tidak selalu ditujukan untuk membuat kelucuan-kelucuan, aktor-aktor yang masuk ke Gandrik justru dituntut untuk jujur dengan pribadi dan kemampuannya masing-masing, baik di atas panggung maupun di luar panggung. Dengan kejujuran tersebut interaksi antar personil bisa berlangsung dengan lancar, dari interaksi yang berlangsung antar personil Gandrik inilah warna-warna yang kuat pada pertunjukan-pertunjukannya. Dalam bahasa Jujuk Prabowo, “proses Gandrik lebih menonjolkan sifat-sifat alamiah kita sebagai manusia, teknik itu penting tapi ada saatnya teknik harus digunakan dan ada saatnya teknik itu dimentahkan.” Interaksi yang kuat antar personil Gandrik inilah yang mereka sebut sebagai “ngeng”, untuk menggambarkan bagaimana para aktor dapat dengan cepat saling mengerti maksud kawannya di atas panggung. Selain itu kelucuan-kelucuan dalam pertunjukan bisa muncul dan mengalir karena para aktor dibebaskan untuk mencari bentuknya masing-masing, karena di Gandrik tidak ada sutradara tunggal yang menentukan dan mengarahkan estetika pertunjukan. Estetika tersebut dibangun bersama-sama di dalam proses, Heru Kesawa Murti bertugas menulis lakon dan mengawalnya hingga bentuk panggungnya, sementara Jujuk Prabowo menata koreografi tari dan kostum, dan Djadug Ferianto memberi sentuhan musik. Sisanya para aktor bertugas untuk mencari dan memunculkan karakternya masing-masing.
Pertunjukan Gandrik selalu diingat karena kelucuan dan kejutan-kejutan yang muncul di dalamnya. DHEMIT (karya Heru Kesawa Murti, 1987) dan ORDE TABUNG (karya Heru Kesawa Murti, 1988) adalah dua karya yang selalu diingat para personil Gandrik sebagai karya mereka yang menggambarkan bagaimana keliaran proses Gandrik berlangsung. Naskah Dhemit ditulis Heru Kesawa Murti, bercerita tentang bagaimana kerusakan lingkungan bukan hanya merupakan ancaman bagi manusia tapi juga makhluk-makhluk halus yang berada di sekitarnya. Proses untuk menuju pertunjukan Dhemit ini selalu diingat sebagai proses yang sangat panjang, karena masing-masing personil Gandrik dapat menunjukkan keliaran masing-masing dan mengeluarkan ide-ide gilanya. Dhemit tercatat sebagai karya yang paling sering dipanggungkan Gandrik, dari tahun 1987 hingga 1990 sejumlah 22 kali pertunjukan.
Sementara Orde Tabung masih dianggap sebagai karya naskah Heru Kesawa Murti yang terbaik, keliaran ide yang tertuang di Orde Tabung merupakan karya yang dianggap menunjukkan ciri khas Heru Kesawa Murti, melalui sindiran-sindiran halusnya yang dibungkus dalam bentuk guyonan dan lelucon serta respons para aktor yang dengan cepat menampilkannya dalam bentuk pertunjukan Gandrik yang menghibur tapi juga berusaha untuk reflektif. Ketika Dhemit dan Orde Tabung dipentaskan di Yogyakarta pada tahun 1987 dan 1988, masih banyak yang mengingat bagaimana pertunjukan Gandrik tersebut mampun menyedot khalayak luas masyarakat Yogya pada waktu itu.
Setelah Brigade Maling tahun 1999, Gandrik berusaha untuk terus melakukan pencarian di dalam pertunjukan-pertunjukannya. Mereka mencoba untuk mengadaptasi naskah-naskah asing untuk dipentaskan, adalah MAS TOM (adaptasi dari Tom Jones karya Henry Fielding, 2002) dipentaskan pada tahun 2002-2003, lalu KELUARGA TOT (adaptasi dari Toth Family karya Istvan Orkeny) dipentaskan pada tahun 2009, menjadi semacam usaha Gandrik untuk tidak hanya bergantung pada pakem yang telah melekat pada pertunjukan-pertunjukan mereka. Selain itu pada tahun 2008, Gandrik juga memanggungkan Sidang Susila, karya Ayu Utami.
Sejak Sidang Susila Gandrik juga mengajak aktor-aktor muda Yogyakarta untuk terlibat dalam proses pertunjukan mereka, hal ini menurut Heru merupakan bagian dari usaha Gandrik untuk mengenal masyarakat kini, selain untuk memberi warna baru dalam pertunjukan-pertunjukan mereka. Para personil Gandrik kini melihat jaman yang sedang berubah, konteks sosial lingkungan yang mereka tinggali kini mempunyai tuntutan-tuntutan yang berbeda dengan tahun 1980-an dan 1990-an, begitu juga situasi politik dan dukungan Negara kepada dunia teater yang menurut mereka semakin berkurang membuat mereka harus menyesuaikan diri dengan tuntutan jaman. Selain usaha di bidang artistik, Gandrik juga berusaha untuk memperbaiki manajemen untuk membantu memperbaiki kinerja kelompok, melalui perekrutan orang-orang baru yang berusia lebih muda.
Kini Gandrik sudah berusia 26 tahun, pertemanan antar personil Gandrik mungkin sudah seperti keluarga besar. Berbagai macam prestasi maupun kebanggaan dari dunia teater telah mereka kecap, nama mereka sudah dikenal luas dalam dunia teater Indonesia, juga para pengamat teater di luar negeri. Gaya pertunjukan mereka menjadi ikon atas kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia, yang genit, lugu, tapi juga dengan cerdas menohok para penguasa atau mereka yang tidak punya empati kepada kehidupan sehari-hari masyarakat biasa. Namun bagi para personil Gandrik tidak ada alasan untuk berhenti mencari dan menemukan idiom-idiom teater, masing-masing personil menyimpan kegelisahannya untuk terus disampaikan kepada masyarakat luas. Heru Kesawa Murti dan Jujuk Prabowo sama-sama bersepakat, tanpa kegelisahan itu mereka tak punya alasan lagi untuk berkumpul dan berkarya.



Sumber:
Agus Noor, Keluarga Tot Teater Gandrik, Buku Pertunjukan Keluarga Tot, Teater Gandrik 2009
Daftar Pertunjukan Teater Gandrik 1983 – 1999, Arsip Teater Gandrik
Kusen Alipah Hadi, Mengenal Gandrik Dari Dalam, Buku Pertunjukan Keluarga Tot, Teater Gandrik, 2009
Profil Teater Gandrik, http://www.kuaetnika.com/gandrik.php?ver=ina
Wawancara dengan Heru Kesawa Murti, Kamis 12 November 2009 di Padepokan Bagong Kussudiardja
Wawancara dengan Jujuk Prabowo, Jumat 13 November 2009 di Padepokan Bagong Kussudiardja

No comments:

Post a Comment