Monday, January 5, 2009

Gandrik dan Sejarahnya



  • Adalah Teater Gandrik, sebuah kelompok sandiwara yang didirikan pada 12 Oktober 1982 di kecamatan Mantrijeron, Yogyakarta, di saat Festival Pertunjukan Rakyat, yang diselenggarakan Departemen Penerangan RI, menjadi ajang bergengsi bagi pergelaran sandiwara yang dilakukan hampir tanpa pretensi apapun, kecuali mempegelarkan karya pertunjukan teater. Nama Gandrik sendiri dilontarkan oleh Camat Mantrijeron pada waktu itu, bapak Kasiharto, di tengah latihan mengikuti Festival Pertunjukan Rakyat. Lontaran itu dimaksudkan sebagai pernyataan sang Camat bahwa kelompok teater kontingen dari Mantrijeron itu akan membuat keterkejutan masyarakatnya. "Gandrik" memang sebuah idiom dalam tradisi Jawa untuk menyampaikan keterkejutan. Gandrik, di festival itu mempergelarkan lakon "Kesandung" karya Fadjar Suharno dan "Meh" karya Heru Kesawa Murti.

  • Setelah mengikuti hingga tingkat nasional dengan kemenangan dan memperoleh berbagai predikat itu, Teater Gandrik dilanjutkan untuk tidak sekedar menjadi teater festival. Disepakati kemudian bahwa ia mesti tumbuh sebagai kelompok sandiwara profesional. Di tahun 1983 Gandrik tampil di TVRI pusat Jakarta dan Yogyakarta. Pada waktu itu Butet Kartaredjasa, Djaduk Ferinato dan Rully Isfihana bergabung melengkapi para pendiri sebelumnya ; Jujuk Prabowo, Heru Kesawa Murti, Susilo Nugroho, Sepnu Heryanto, Novi Budianto, Saptaria Handayaningsih dan mBah Kartono. Kini mereka mulai menggarap karya-karyanya lakon panggungnya ; Kontrang-Kantring, Pensiunan, Pasar Seret, Sinden, Dhemit, Isyu, Orde Tabung, Upeti, Proyek, Brigade Maling, Mas Tom, Departemen Borok, Sidang Susila. Dan karya-karya untuk televisi ; Juragan Abiyoso, Flu, Tangis, Juru Kunci, Buruk Muka Cermin Dijual, Khayangan Goyang, Badut Pasti Berlalu. Bahkan di tahun 2007 Gandrik melangsungkan program regenerasi untuk ikhtiar nafas panjangnya dalam berkesenian. Teater Gandrik muda, yang kebanyakan diikuti para mahasiswa dan alumnus ISI Yogyakarta. Mereka mempergelarkan karyanya ; Dewan Perwakilan Rayap (2007) dan Pasar Seret 3 (2008).

  • Sandaran berkesenian Teater Gandrik adalah kerja kreatif, pergaulan yang solid, bermain sandiwara dengan perasaan bahagia (happy), berorientasi pada kesenian rakyat di Indonesia untuk diangkat dan digarap dengan pendekatan teater modern, manajemen yang terbuka dan tertata baik secara profesional. Sejak awal proses penggarapan kreatif Teater Gandrik selalu memberikan tempat utama pada proses berbagi (sharing). Siapapun yang ada di dalamnya diberi hak sepenuhnya untuk mengemukakan pendapat, opini, kritik dan masuk-masukan kreatif bagi kepentingan pengembangan mereka. Karena itu Gandrik hampir tak pernah mengenal keangkeran sutradara sebagai penguasa estetik dan artistik dengan segala hak prerogatifnya yang serba mutlak itu. Konsep penggarapannya adalah keroyokan. Bila kemudian terjadi penyebutan secara tertulis juga lisan barangkali, sutradara di sana hanya berfungsi sebagai koordinator atau traffic lalu lalang gagasan-gagasan kreatif dari proses keroyokan itu. Sehingga dengan begitu, proses kreatif yang terjadi di Gandrik adalah proses yang terus menerus selalu berubah, selalu baru, selalu terjado pengembangan-pengembangan. Apa yang terjadi pada latihan sekarang akan mengalami pengembangan saat pementasan. Apa yang muncul dalam pementasan di satu kota akan mengalami pengembangan saat pergelaran di kota lain.

  • Teater Gandrik selalu dibakar oleh spirit canda dalam menggarap lakon-lakonnya. Bahwa di tengah canda itu muncul kritik, hal yang mendasarinya adalah respon Gandrik pada perkembangan dan persoalan aktual yang terjadi di sekelilingnya, adalah juga reaksi dari kegelisahannya dalam menyikapi pergeseran-pergeseran kultural, sosial dan politik di sekitarnya. Gandrik memang membungkus kritiknya itu dengan tawa, dengan canda, dengan olok-olok, dengan guyonan. Juga dengan sembrana parikena ; sebuah proses bercanda dalam budaya Jawa, yang kurang lebih bermakna sebuah ikhtiar idiomatik untuk main-main, untuk meledek, syukur-syukur main-mainnya, ledekannya itu, mengena, tidak pun juga tidak masalah. Dengan begitu, Gandrik, yang dilahirkan di tengah lingkungan budaya Jawa yang kental, selalu menggunakan idiom-idiom kulturalnya itu untuk menyampaikan kritik, mengutarakan model candanya dengan konsep garapan yang sekomunikatif mungkin. Bahkan juga menggunakan idiom-idiom yang tengah populer di masyarakatnya, tak terbatas apakah itu bahasa slank, bahasa gaul, atau kebiasaan-kebiasaan yang sedang dicenderungi khalayaknya. Dengan pendekatan itu Gandrik menjadi akrab di tengah khalayak penontonnya, hangat sebagai tempat untuk "curhat" pemirsanya, karena pertunjukan-pertunjukan Gandrik selalu digarap dengan menempatkan masyarakat penotonnya sebagai bagian integral dari pementasannya.

No comments:

Post a Comment